Kamis, 26 November 2015

Abbulo Sibatang



"Abbulo sibatang, accera' sitongka-tongka, siri na pacce, toddopuli" hanyalah sebuah celote belaka, sekedar dongeng pengantar tidur buat sikecil,  di jaman perjuangan merebut kemerdekaan pun toh masih ada kalangan keluarga dan tokoh kita yang berpihak kepada kolonialisme, sejarah Tinggimoncong mencatat bahwa disaat Sulaeman Dg Jarung, Bung Endang, Mappatangka Krg Rani, Mappa Krg Tawang, Basnang Dg Talle dan sejumlah tokoh-tokoh daerah bangkit untuk melawan Pemerintahan Belanda pada saat itu, toh masih ada yang setia dan berpihak kepada Belanda, yang menyebabkan gagalnya penyerangan di Malino. Jembatan Lebong di Parangloe yang rencananya diruntuhkan untuk memutus bala bantuan dari Pusat Ibu Kota (Somba Opu) gagal karena dihalangi oleh seseorang yang setia kepada belanda yang nota bene adalah masih kalangan keluarga sendiri dan masih tokoh panutan masyarakat kecil pada waktu itu.
Penyerangan ke Markas Belanda di Malino pada waktu itu sebenarnya kemenangan sudah di depan mata, masyarakat Tinggimoncong, pejuang kita, pahlawan kita, rela menukar nyawa mereka dengan amunisi, perhitungan mereka jumlah pejuang masih lebih banyak ketimbang amunisi yang dimiliki belanda, mereka rela guguru, mereka merelakan menukar nyawa dengan amunisi, demi sebuah kebebasan, demi kemerdekaan, demi kedamaian. namun semua itu sia-sia karena datangnya bala bantuan dari pusat pemerintahan.
Keberpihakan Keluarga kita pada Pemerintah Belanda apakah dianggap suatu penghianatan? Bukan. sama sekali bukan penghianat, ini persoalan pilihan, ini persoalan prinsip. mungkin bagi pejuang-pejuang kita ini adalah suatu penghianatan, tapi bagi mereka-mereka dan Pemerintah Belanda justru sikap yang diambil oleh Krg Jarung, Bung Endang  dan Rekan-rekannya adalah tindakan Makar/Pemberontakan yang wajib ditumpas. Krg Jarung dan rekan-rekannya semata-mata berjuang dengan niat yang tulus mengimpikan suatu negara yang damai, aman, yang merdeka, dan bebas menentukan nasib sendiri tanpa tekanan, tanpa penindasan, namun disisi lain yang berpihak kepada Pemerintah Belanda menganggap bahwa sikap mereka adalah sikap yang bodoh, bukankah pemerintah kita sudah memberikan yang terbaik? membangun malino? pembangunan infra struktur ?. pendidikan yang maju?. sekali lagi ini persoalan prinsip.
Sepertinya peristiwa sejarah akan terulang kembali. disaat tokoh-tokoh kita bangkit untuk memperjuangkan sebuah perubahan, memperjuangkan sebuah cita-cita mulia toh masih ada keluarga yang enggan untuk bersama menyatukan persepsi untuk menatap Tinggimoncong yang lebih cerah kedepan, mereka menganggap bahwa apa yang kita rasakan saat ini sudah lebih dari cukup, mereka lebih memilih setia. Pada saat pemerintahan Belanda, mereka berpihak kepada Belanda mungkin karena mereka dijanjikan suatu kedudukan, jabatan, posisi yang strategis, kekuasaan, atau mungkin karena motif finansial. masyarakat kita pun pada saat itu memiliki tipe yang berbeda-beda, ada yang melawan belanda dengan sembunyi-sembunyi/ takut ketahuan, ada yang berjuang karena motif ekonomi (harta rampasan perang), namun sebagian besar karena menginginkan sebuah perubahan, sebuah kemerdekaan, sebuah kebebasan.
Konsekuensi dari sebuah perjuangan adalah resiko, pasca penyerangan markas tentara Belanda di Malino, hampir semua pejuang kita dihukum mati, Mappatangka Krg Rani ditembak Mati, S Dg Jarung sampai sekarang belum diketahui dimana Kuburannya, Saleh Dg Se're harus beganti nama menjadi Sare Dg Sele' karena menjadi buronan pemerintah, Labbiri Dg Lurang didudukkan diatas mesin mobil dan di arak keliling Malino, Mappa Krg Tawang di buang ke Nusa Kambangan. inilah resiko dari sebuah perjuangan dalam meraih sebuah kemerdekaan.
Kini S. DG Jarung, Bung Endang, Krg. Tawang, Mappatangka Krg Rani, kembali bangkit menyatukan tekad untuk kemajuan Tinggimoncong, meskipun kita sadari bahwa mereka tidak didukung sepenuhnya oleh kalangan keluarga, namun tidak menyurutkan tekad mereka untuk meraih cita-cita Tinggimoncong yang lebih cerah. Masih ada keluarga kita yang lebih memilih orang lain ketimbang "Abbulo Sibatang, Siri na Pacce dalam Kekeluargaan". genderang perang yang ditabuh Krg Tawang saat ini untuk menyuarakan Tinggimoncong Cerah dimasa yang akan datang tidak sepenuhnya didukung oleh rekan-rekannya, sebagian diatara mereka ingin meraih kemenangan dikedua sisi, mereka ragu dengan sebuah resiko,  
Akankah S. Dg Jarung, Krg. Tawang, Mappatangka Krg Rani, Basnang Dg Talle akan kembali menuai kekalahan dalam memperjuangkan Tinggimoncong? atau sebaliknya mereka terlahir kembali untuk memetik kemenangan mereka yang tertunda saat itu? 
Saat ini darah pejuang kita kembali yang mengalir dalam diri mereka  dalam meperjuangkan Tinggimocong lebih baik, saat ini tokoh kita "Hairil Mu'in" sedang berperjuang untuk meraih cita-cita membawa Tinggimoncong lebih cerah. namun kita sadari bahwa perjuangan mereka tidak sepenuhnya didukung oleh pihak keluarga, masih ada yang lebih mementingkan keuntungan dan keselamatan diri pribadi dibandingkan Siri dan Pacce dalam kekeluargaan. masih banyak diantara keluarga kita yang lebih memilih keuntungan pribadi dibandingkan kekeluargaan.  Zainuddin Dg Late sempat berucap "Parangku Lagi Tu Tinggimoncong na Parallu ku Passiriki apalagi ka Bijangku" inai paeng la perjuangkangi punna teai katte, manna na ni betaja assa teai nakke pappibetangi . tena saasallianna kalengku punna bijangku tonja ku perjuangkan.
Abbulo Sibatang adalah kata-kata yang begitu mudah keluar dari mulut kita, namun hanyalah sebuah slogan belaka tanpa pemaknaan, napileangangi tau maraenga na bijanna, nalabbirangangi jabatanna na passibijaanna. jujur saya sebagai penulis menganggap bahwa mereka tidak memiliki jiwa kesatria, sekali lagi perjuangan Hairil Mu'in, Karaeng Tawang, dan sejumlah Tokoh Kita di Tinggimoncong bukan atas motif keuntungan pribadi, akan tetapi demi Negeri yang mereka cintai, Kapan lagi ada Tokoh kita di Tinggimoncong yang berani bertarung di kancah politik, inilah saatnya untuk "abbulo sibatang na ni si kapaccei si passiriki" mungkin kita mesti menunggu  100 tahun lagi baru ada tokoh kita dari Tinggimoncong itupun kalau ada, inilah saatnya.
Hal yang paling tidak benar adalah apabila kita memaksakan sesuatu yang bukan pada keahliannya, namun tohoh kita saat ini adalah seorang tokoh yang ahli pada bidangnya, bukankah Allah SWT telah memperingatkan kepada  segenap manusia, bahwa apabila suatu urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya? sekedar dijadikan sebagai bahan renungan dan landasan berpijak dalam mengambil keputusan.  
Suatu saat nanti akan banyak orang yang mengaku pejuang, disaat kemenangan sudah diraih, namun pejuang yang sebenarnya adalah orang-orang yang berani bersuara lantang di saat masa perjuangan, tanpa mempedulikan resiko jika perjuangan mereka gagal. 
Sifat Paja Paniku dalam konteks Bahasa Makassar memang dari dulu hingga saat ini selalu ada di hati sebagian orang, ingin menang  pada kedua sisi. namun tidak punya keberanian disaat masa pertempuran. sadar atau tidak masih banyak Pemimpin kita yang lebih berpihak pada orang lain saat ini dibandingkan keluarganya, atau mendukung keluarganya dengan sembunyi-sembunyi, ingin baik sama orang lain dan ingin benar di keluarganya. mana jiwa patriotismemu wahai para pemimpinku di Tinggimoncong, bagaimana mungkin rakyat bisa bersatu jika kalian para tokoh sulit untuk bersatu? atas dasar apa kalian para tokoh yang terhormat lebih memilih orang lain dibandingkan keluargamu? janji sebuah jabatankah, kedudukankah, popularitaskah, ekonomikah, atau apakah anda seorang penakut untuk bersuara lantang mendukung jagoanmu dari Tinggimoncong?
"HAIRIL MUIN" doaku menyertai perjuanganmu.
Terima Kasih Buat
"Hasbullah Krg. Tawang, Abd. Gani Puang Bani" jiwa Patriotismemu dalam memperjuangkan Tokoh Kita akan kami kenang sepanjang masa" demi sebuah niat tulus Tinggimoncong lebih baik ke depan.
Wassalam.