Senin, 25 Agustus 2014

SERTIFIKASI GURU


Beberapa waktu yang lalu istriku mencurahkan segala unek-unek yang ada di dalam hatinya, saya pun begitu serius memperhatikan semua yang dia ungkapkan, dia menceritakan apa yang terjadi dilokasi tempat dia bekerja yaitu SMP Negeri 3 Gantarang, memang sih kalau kita perhatikan ceritanya membuat kita merasa bahwa itu memang suatu hal yang bisa dikategorikan keputusan yang tidak adil alias diskriminasi "yahhh itu persi saya sebagai suaminya" tapi bagi kepala sekolah dan pihak yang diuntungkan mungkin mereka berpendapat bahwa inilah keputusan yang paling bijak.
sebenarnya istriku (kita sepakat saja ganti kata istriku dengan kata Salmawati, OK) adalah seorang guru Honorer/ sukarela/ WB alias Wiyata Bakti di SMP Negeri 3 Gantarang kec. Tinggimoncong sejak tahun 2009 yang lalu sekalipun pada waktu itu dia mengajar sambil kuliah berhubung sekolah tersebut merupakan USB dan belum memiliki tenaga pengajar yang cukup maka saya selaku komite pembangunan  sekolah beserta kepala sekolah pada waktu itu sepakat untuk mencari/merekrut warga sekitar sekolah yang memiliki kemampuan untuk menjadi staf pengajar sesuai dengan kompetensinya masing-masing, maka didaftarlah beberapa orang baik yang sudah sarjana ataupun yang sementara kuliah untuk dijadikan tenaga pengajar dengan mekanisme mengatur jadwal sesuatu dengan kesempatan yang dimiliki masing-masing guru agar tidak mengganggu aktifitas perkualiahannya dan sekolah juga tetap jalan.
Tidak terasa tahun kemarin istriku sudah resmi menyandang gelar S.Pd dibidang Pendidikan Ekonomi, otomatis kegiatan pembelajaran di sekolah tidak lagi terhambat karena alasan kuliah dia menjalankan tugasnya dengan penuh rasa percaya diri, disiplin yang tinggi, mematuhi kode etik guru, semangat yang berapi-api dalam mempersiapkan calon generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berakhlak mulia, namun tetap tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai istri di rumah. "hehehehe cie-cie"
Tiba-tiba semangat yang begitu tinggi berubah down, seperti api yang disiram air, seperti kembang di tanah yang kering dan tandus, bagaikan bulan kesiangan, semangat juangnya pudar sudah lantaran kehadiran seorang guru PNS sertifikasi dari SMP Negeri 2 Saluttowa yang kekurangan jam disekolahnya meminta jam di sekolah tempat istriku mengajar. maka otomatis semua jam istriku diambil semua oleh guru sertifikasi tersebut.
Kepala sekolah menerima permohonan guru tersebut untuk tambah jam di sekolah istriku, kini istriku hanya tertunduk lesu dirumah, dia sudah tidak punya jam lagi di SMP Negeri 3 Gantarang, siswa sudah melayangkan protes (demo) ke Kepala Sekolah, guru-guru yang lainnya pun juga tidak ketinggal bersuara menolak kebijakan kepala sekolah karena pasti kita semua guru sukarela di sekolah ini akan tergeser besok lusa nanti ketika guru sertifikasi lainnya masuk di sekolah kita lagi. namun Kepala Sekolah hanya mengatakan bahwa keputusan dinas, guru sertifikasi harus diprioritaskan.
Memang kalau dipikir dimana letak keadilan, istriku yang selama ini mengajar hanya dihargai Rp. 3.000,- perjam pelajaran "jadi seandainya mereka mengajar 4 jam perhari dia hanya memperoleh Rp. 12.000/ hari atau bahasa sederhananya karena cuma 3 rombel atau 12 jam per minggu maka istri saya jika pull mengajar dalam 1 minggu maka dia mendapatkan Rp. 36.000 per minggu (3 rombel x 4 jam x Rp. 3000 =  36.000/ minggu suatu nominal yang sangat memprihatikan,jika dibandingkan dengan Gaji PNS + Sertifikasi namun  istriku tetap mensyukuri nominal itu, karena tuntutan kebutuhan hidup, dan berusaha membantu menopang perekonomian keluarga karena saya juga masih sukarela di Sekolah Dasar,
Dengan kedatangan guru sertifikasi di sekolah itu, istriku hanya bisa meneteskan air mata setiap saat di rumah, "saya senang mengajar sekalipun gajiku kecil, saya sayang sama siswaku, saya ikhlas mendidik mereka, namun kini saya sudah tidak kebagian jadwal lagi" kepala sekolah mencoba menghibur saya dengan memberikan bidang studi matematika tapi saya katakan itu bukan keahlian saya pak, bidang saya adalah IPS terpadu takut saya tidak profesional dalam menjalankan tugas, kepsek juga menawarkan 1 kelas atau 4 jam pelajaran namun saya pun menolaknya karena biaya perjalanan menuju sekolah lebih besar dari pada hasil yang saya dapatkan perbulannya.
Kini Guru Sertifikasi itu sudah menjalankan tugasnya dengan perasaan senang, membayangkan tunjangan sertifikasi yang akan dia terima nantinya, tanpa memikirkan bahwa tugas yang saya jalankan ini adalah hak orang miskin yang saya rampas, hak anak-anak yang menangis karena kekurangan susu, jeritan seorang ayah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya, wajar jika istriku setiap saat hanya mengusap air matanya, membayangkan jaman yang begitu tidak adil, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin teraniyaya. saya cuma bisa mengatakan "jangan menangis sayang, ini hanya cobaan dari Tuhan hadapi semua dengan senyuman sinarmu harus tetap bersinar"